Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang paling mudah terkesiap oleh kibasan tongkat Dewi Peri (baca: rokok). Lihat saja hasil Survei Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS). Data menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga miskin untuk rokok lebih besar daripada untuk biaya kesehatan dan pendidikan. Tahun 1999, keluarga miskin menghabiskan 5,3 persen pengeluaran untuk rokok, sementara untuk kesehatan dan pendidikan masing-masing hanya 1,7 dan 2,9 persen.
Tahun 2002, belanja rokok untuk keluarga miskin naik menjadi 6,8 persen, sementara untuk kesehatan dan pendidikan hanya 2,1 dan 2,5 persen. Tahun 2003, belanja rokok mencapai 7,6 persen, sementara untuk kesehatan dan pendidikan hanya 1,9 dan 2,6 persen. Tingkat konsumsi rokok keluarga miskin dari tahun ke tahun juga terus meningkat, sementara tingkat konsumsi kebutuhan pokok cenderung menurun atau naik sedikit saja. Tak mengherankan mengapa banyak ditemukan anak yang menderita busung lapar di tengah keluarga miskin, karena alokasi makanan pokok – termasuk susu — dialihkan untuk membeli rokok.
Data lain, alokasi belanja rokok kelompok masyarakat miskin juga lebih besar dari warga kaya. Tahun 2004, orang miskin mengalokasikan 10,9 persen anggarannya untuk rokok, sementara orang kaya hanya 9,7 persen. Diperkirakan pada 2007, jumlah keluarga miskin di Indonesia sebesar 19 juta jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2/3 laki-laki keluarga miskin merokok, sehingga diperkirakan 12 juta kepala keluarga miskin adalah perokok. Fakta lain, ternyata jumlah belanja rokok kelompok masyarakat miskin (Rp 23 triliun/tahun) lebih gede dari anggaran APBN untuk DEPKES (hanya Rp 17 triliun).
Absurditas perilaku masyarakat miskin, yang lebih mementingkan konsumsi rokok daripada kebutuhan pokok, itu masih bisa dimengerti. Maklumlah, masyarakat miskin secara umum berpendidikan rendah. La yang berpendidikan tinggi saja juga sulit melepaskan diri dari rokok – bagi mereka yang sudah ketagihan. Tampaknya kebiasaan merokok menjangkiti manusia secara lintas batas usia, latar belakang pendidikan, strata ekonomi dan lintas etnis, apalagi agama. Akal sehat dan moralitas cenderung tak berlaku dalam soal merokok.
Penyair Taufiq Ismail dalam beberapa puisinya sangat tepat menggambarkan kebiasaan buruk di kalangan masyarakat dari semua kelas sosial. Simak sebagian bait berikut: “Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok, di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,…”
Bahkan dalam bait lain, Taufiq Ismail berani menyindir kalangan kiai yang umumnya menjadi teladan moral bagi masyarakat, yang tak juga lepas dari dosa merokok. Baca saja: “Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita. Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan centi panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya…”
Di mata Taufiq Ismail, rokok telah menjadi tuhan baru bagi para perokok, termasuk kalangan kiai yang sehari-hari membawa 99 biji tasbeh untuk mengingat Tuhan. Jadi tak berlebihan jika kebanyakan kaum miskin pun mudah terkesiap oleh kibasan tongkat Dewi Peri, istilah lain untuk rokok yang dipakai oleh penulis buku ini. Wusss, kruiinggg… *